
Banyuwangi – Berbicara mengenai suku osing sebagai suku asli
Banyuwangi tentu tidak akan terpisahkan dengan keberadaan “Sanggar Arum Genjah”
sebagai tempat pelestarian seni dan budaya suku osing yang dimiliki seorang
pengusaha perkebunan dan ahli kopi internasional yang berada di desa Kemiren,
kecamatan Glagah. Dari tangan dingin sang pengusaha yang bernama lengkap
Setiawan Subekti inilah kopi osing jadi terkenal di dunia dengan cita rasanya
yang khas. Datang di desa Kemiren ini tentu tidak lengkap bila tidak mencicipi
nikmatnya kopi osing yang terkenal ini. Tidak hanya mencicipi, para pengunjung
bisa belajar langsung proses pengolahan kopi yang baik dan benar disini,
seperti proses menyangrai, menumbuk kopi yang matang, menyaring bubuk kopi dan
cara penyajian kopi yang benar sehingga menghasilkan kopi dengan cita rasa
tinggi. Kopi yang dalam bahasa osing “kopai” ini telah menjadi sajian minuman
yang istimewa. Di desa Kemiren sendiri, telah dikenalkan cara menyangrai kopi
sesuai dengan standart internasional yang di mentori langsung oleh bapak
Setiawan Subekti. Menurut beliau, untuk mendapatkan sajian kopi yang
berkualitas, kunci utamanya ada dipemilihan biji kopi dan proses pengolahannya
yang benar. Biji kopi yang dipilih haruslah mempunyai kadar air tidak lebih
dari 15% dan dipilih yang benar-benar matang. Di Banyuwangi sendiri, daerah
penghasil kopi berada di sekitar gunung ijen, namun kopi yang dihasilkan di
perkebunan di lerang sebelah timur dan barat mempunyai cita rasa yang berbeda.
Hal ini di pengaruhi banyaknya sinar matahari yang didapat di perkebunan
sebelah timur dan posisi perkebunan menghadap ke arah laut, sehingga memiliki
kadar garam yang tinggi. Sedangkan perkebunan yang ada di lereng sebelah barat
hanya di pengaruhi oleh angin gunung. Namun keduanya sama-sama menghasilkan
kopi yang sama enaknya. Biji-biji kopi yang telah di pilih, kemudian di
pisahkan dari kulitnya, setelah melalui proses pencucian dan fermentasi
kemudian biji-biji kopi ini di keringkan hingga mencapai tingkat tertentu. Biji
kopi yang telah di keringkan ini, kemudian dipilah dan selanjutnya di sangrai
diatas wajan atau loyang yang terbuat dari tanah liat. Pemilihan wajan dari
tanah liat ini disebabkan karena wajan tanah liat mampu menyimpan suhu panas
yang stabil saat dipakai untuk menyangrai biji kopi, hal ini sangat penting
dalam proses sangrai, karena menjaga kestabilan suhu bisa menghasilkan biji
kopi yang matang secara merata dan sempurna.
Teknik sangrai ini merupakan faktor penting untuk menciptakan cita rasa
kopi meskipun menggunakan peralatan tradisional, sebab sebaik apapun kualitas
biji kopi bila proses sangrainya salah tentu tidak akan memiliki cita rasa yang
baik. Biji kopi yang di sangrai tidaklah harus sampai hitam seperti kebanyakan
yang dilakukan, karena biji kopi yang gosong ini akan menimbulkan rasa yang
tidak enak/pahit. Waktu yang tepat adalah sekitar 20 menit saja. Biji kopi yang
sudah matang kemudian dipindahkan ke nyiru untuk di angin-anginkan agar cepat
dingin dan setelah itu disimpan selama 3 hari atau minimal 1 hari yang
fungsinya untuk mengurangi kandungan getah kopi. Proses selanjutnya baru
ditumbuk hingga hancur kemudian di ayak atau saring untuk mendapatkan bubuk
kopi yang halus. Untuk komposisi penyajian, 1 cangkir cukup 1 sendok makan
bubuk kopi dan air yang digunakan adalah air yang mendidih yang didiamkan
dahulu selama setengah menit baru dituangkan ke dalam cangkir dengan ukuran
separuhnya dan pelan-pelan diaduk sembari ditambahkan air hingga mendekati
penuh. Meminum kopi juga diperlukan cara
khusus, pertama dekatkan hidung ke cangkir untuk menghirup aromanya kemudian
baru di sruput dan ditahan sebentar dalam mulut, hingga rasanya menempel di
lidah baru kemudian di telan. Itulah cara yang di ajarkan oleh sang ahli kopi,
bapak Setiawan Subekti kepada warga Kemiren dan para pengunjung yang belajar
proses pengolahan kopi ala suku osing di sini. Dengan melakukan berbagai
pembinaan, kini telah banyak warga di Kemiren pada khususnya, menjadi petani
kopi dengan hasil yang baik, pengolahan dan perawatan yang benar sehingga banyak di ekspor ke manca negara.
Dahulu di tempat ini pernah menjadi tuan rumah kontes kopi atau miss coffee
yang pesertanya semua adalah para
wanita. Mereka berasal dari Indonesia, Guatemala, Belanda, Kenya, Jerman,
Slovakia, Australia, Afrika selatan, Republik Dominica, Serbia, Kolombia,
Jepang, Myanmar dan Moldova. Para finalis miss coffee ini diajak untuk
menikmati kopi khas Banyuwangi, yang diracik sendiri oleh bapak Setiawan
Subekti di Sanggar Genjah Arum. Ajang
ini sekaligus sebagai media promosi agar kopi osing di kenal di berbagai
negara. Para peserta juga mencoba cara menyangrai kopi menggunakan peralatan
tradisional dan membawa pulang contohnya. Para finalis miss coffee ini rela
berpanas-panas berkeringat belajar menyangrai biji kopi menggunakan tungku dan
wajan tanah liat dengan kayu bakar. Sebenarnya tradisi menyangrai kopi ini
telah ada dari dulu di masyarakat Banyuwangi terutama masyarakat yang tinggal
di lereng gunung Ijen. Tidak heran banyak tamu dari manca negara yang datang
secara khusus untuk bertemu dan belajar pada ahlinya dengan suasana kebersamaan
seperti teman. Itulah rahasia dibalik cita rasa kopi osing yang khas ini,
selain pemilihan bijinya yang berkualitas juga proses pengolahan dan
penyajiannya yang benar. “Sekali seduh kopi kita bersaudara”
itulah motto dari kopi osing.*)
Artikel lain:
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda, terima kasih