Banyuwangi – Kota yang di kenal dengan “Sun
rise of Java” ini banyak menyimpan potensi wisata dan budaya. Hal itu terlihat
masih banyaknya ritual dan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakatnya.
Untuk mengenalkan potensi budayanya itu banyak cara kreatif yang telah dilakukan
pemerintah kabupaten Banyuwangi salah satunya menggelar festival busana sebagai
presentasi pengenalan adat tradisional yang ada di Banyuwangi, yang di kenal
dengan “BEC” atau Banyuwangi Ethno Carnival. Event ini rutin di selenggarakan
tiap tahunnya seperti halnya di kota lain seperti Jember dengan JFC ( Jember
Fashion Carnival ) dan Situbondo dengan BSC ( Best Situbondo Carnival ).
Karnaval tahunan yang di kemas unik dan spektakuler ini menampilkan ratusan
pemain dengan kostum-kostum yang menarik berdasarkan tema yang ditentukan dan
diikuti berbagai kalangan seperti anak-anak sekolah. Event ini pertama kali di
gelar pada tahun 2011, dengan tujuan mampu menjebatani seni budaya moderen
dengan seni budaya lokal yang selama ini telah berkembang di dalam kehidupan
masyarakat Banyuwangi dituangkan dalam event ini tanpa merubah nilai-nilai budaya
yang telah berkembang, baik itu nilai spirit dan filosofinya. Dengan BEC ini,
akan menjadi wadah kreatifitas para generasi muda untuk menuangkan ide atau
gagasan yang menarik dan unik yang didasarkan keragaman etnik dan tradisi dalam
bentuk artistik dan spektakuler, sehingga nilai budayanya memiliki daya tarik
tersendiri, meningkatkan kecintaan akan budaya lokal dan sebagai promosi wisata
untuk menarik pengunjung ke Banyuwangi. Event ini biasanya di gelar di bulan
September – November dan bertempat di sepanjang jalan protokol di kota
Banyuwangi.
Banyuwangi Ethno
Carnival 2011, tema “Gandrung”, inilah pertama kalinya event ini di gelar di Banyuwangi
dengan mengangkat tema “Gandrung, damarwulan dan kundaran”. Ketiga tema ini
adalah presentasi dari kesenian tradisional asli Banyuwangi yang kemudian di
modifikasi dengan tampilan kostum yang unik dan menarik agar lebih berkesan
kotemporer. Peserta event ini di dapat dari hasil seleksi berbagai sekolah dan
instansi pemerintahan dan swasta yang ada di Banyuwangi. Total, ada 420 peserta
hasil seleksi yang kemudian mengikuti workshop untuk dilatih cara membuat
kostum dan berjalan di panggung saat peragaan busana. Rata-rata di perlukan
waktu 2 – 3 minggu untuk membuat kreasi kostum yang akan di pakai oleh para
peserta dalam acara karnaval tersebut. Pada BEC 2011 ini acara di gelar pada 22
Oktober 2011, dan dibuka dengan pagelaran tarian gandrung Banyuwangi. Tarian
ini pada mulanya adalah tarian sakral yang telah ada sejak zaman Majapahit.
Dalam bahasa Jawa, “Gandrung” berarti cinta atau terpesona. Tarian ini
mengandung makna sebagai ungkapan cinta kepada Dewi Sri atau dewi kesuburan
yang telah banyak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Banyuwangi,
khususnya masyarakat pertanian. Pada pembukaan acara ini, ditampilkan 119
penari gandrung yang berasal dari berbagai kalangan seperti pelajar dan para
penari senior dengan kostum yang dipakai para penari didominasi warna hitam dan
merah. Acara selanjutnya di tampilkan
kesenian Damarwulan atau Jinggoan yang merupakan kesenian teater rakyat
Banyuwangi yang mengambil kisah dari legenda Damarwulan vs Minakjinggo, yang
dibawakan 112 peserta dengan design kostum di dominasi warna biru, merah dan
hitam. Terakhir, sebagai penutup di tampilkan kesenian kundaran, sebuah tarian
dengan corak islami yang dahulu di mainkan oleh para pria kemudian dalam
perkembangannya dimainkan oleh wanita. Design kostum penari kundaran banyak di
dominasi warna oranye, hijau dan merah, dengan modifikasi yang hampir sama pada
ketiga kostum tema kesenian yang ditampilkan dengan menambah sayap dan mahkota.
Banyuwangi Ethno
Carnival 2012, tema “Barong Osing”, Acara ini digelar pada 18 November 2012, dengan tema barong
osing, yaitu para peserta memakai kostum dan pernak-pernik barong khas suku
using. Peserta di bagi menjadi 3 defile, yaitu barong merah, barong kuning
dan barong hijau. Pada acara ini
juga diikuti tamu dari JFC ( Jember Fashion Carnival ) untuk ikut ambil bagian
dalam event ini. Barong yang ditampilkan dalam event ini berbeda dengan barong
yang ada dalam kesenian Bali, barong osing atau barong kemiren ini memiliki
ukuran lebih kecil dan bentuk mukanya lebih mirip srigala dengan mahkota dan
sayap di bagian kanan dan kirinya dengan paduan warna merah, kuning dan hijau.
Kesenian barong ini biasanya dimainkan dalam bentuk teater rakyat yang
ditampilkan dalam acara adat seperti sunatan dan pernikahan. Sedangkan di
tempat asalnya di desa Kemiren, kecamatan Glagah, kesenian barong osing ini
ditampilkan dalam acara ritual bersih desa yang di kenal dengan “Barong Ider
Bumi”.
Banyuwangi Ethno
Carnival 2013, tema “The Legend of Kebo-Keboan”, Acara ini di gelar pada 7 September
2013, dengan tema menampilkan budaya kebo-keboan, sebuah budaya tradisional
yang berasal dari desa Alas malang, Banyuwangi. Ritual kebo-keboan ini adalah
sebagai wujud doa dan pengharapan agar hasil panen bisa melimpah. Ritual ini
sudah lama berkembang selama ratusan tahun di dalam masyarakat Banyuwangi.
Dalam masyarakat pertanian, sosok kebo atau kerbau adalah sebagai rekan kerja dan menjadi
harapan bagi para petani, berbeda dengan hewan lainnya. Kebo atau kerbau selalu
dianggap sebagai hewan yang membawa kemakmuran dan ketahanan pangan bagi para
petani sehingga memperoleh perlakuan khusus saat masa tanam. Dalam ritual ini,
sejumlah orang di dandani seperti hewan kerbau yang menjadi simbol mitra petani
di sawah dan menghalau malapetaka di musim tanam hingga panen. Dalam BEC III
ini tema kebo-keboan di bagi menjadi 3, yaitu kebo geni, yang menggambarkan sebuah semangat, motivasi, amarah dan
kepahlawanan dengan kostum di dominasi warna merah, kuning dan hitam. Kebo bayu tirto, menggambarkan
kehidupan dengan kostum yang di dominasi warna hitam, silver dan putih. Kebo bumi, menggambarkan kesuburan
dengan kostum yang di dominasi warna hitam dan emas. Event ini di ikuti 300
peserta yang berparade sepanjang 3 Km berkeliling kota Banyuwangi dengan
jalanan sebagai catwalk dan diiringi musik-musik khas Banyuwangi yang
dikolaborasikan dengan musik moderen.
Banyuwangi Ethno
Carnival 2014, tema “The Mystic Dance of Seblang”, Acara ini digelar pada 22 November
2014 dengan tema mengangkat budaya lokal dan tradisional yang konon mempunyai
nilai mistis, yaitu tari seblang, yang merupakan tarian tertua yang ada di
Banyuwangi ini yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional oleh
pemerintah pusat. Seblang yang berarti sebele ilang atau sialnya hilang adalah
salah satu upacara adat yang ada dalam masyarakat suku osing yang dilakukan
sebagai ungkapan rasa wujud syukur atas rezeki yang melimpah dan berguna juga
sebagai tolak bala atau menolak bencana. Ritual ini dapat dijumpai di desa
Bakungan dan desa Olehsari di kecamatan Glagah. Di desa Olehsari, tari seblang
dimainkan oleh seorang perempuan muda yang dimainkan selama 7 hari
berturut-turut dan dilaksanakan 1 minggu setelah lebaran. Sedangkan tari
seblang di desa Bakungan di mainkan oleh seorang perempuan tua yang dimainkan
selama 1 malam dilaksanakan 1 minggu setelah idul fitri. Penari seblang akan
menari mengikuti alunan gending dari para sinden dengan mata tertutup dan dalam
keadaan tidak sadar, inilah nuansa mistis yang tersaji didalamnya. Dalam BEC IV
ini di bagi 3 tema, yaitu Seblang
Olehsari, dengan kostum dihiasi pelepah pisang menutupi bagian wajahnya
atau sebagai penutup kepala dengan warna dominan hijau. Seblang Bakungan, hampir sama dengan kostum seblang Olesari namun
dibagian wajahnya dihiasi kain untuk menutup sebagian wajahnya dan dominan
warna merah juga ditambahkan membawa senjata keris. Seblang Porobungkil, kostumnya di kreasi menampilkan hasil bumi
yang dibuat dalam bentuk moderen. Event ini diikuti 500 peserta yang berparade
di jalan utama Banyuwangi. Sebagai masterpiecenya dibawakan oleh peserta
karnaval dengan kostum sepanjang 300 meter yang dikawal 2 peserta dan kostumnya
dibawa oleh peserta berkostum gandrung sebanyak 300 peserta, kemudian
dilanjutkan dengan tampilan 200 peserta dengan kostum berhiaskan buah-buahan di
mahkotanya sebagai tanda wujud syukur dari hasil panen yang melimpah. Beberapa
tamu undangan khusus juga hadir dalam acara ini, seperti dubes Amerika Serikat,
Robert O Blake Jr, Konsulat Jendral AS di Surabaya, Joaquin.F, menteri sosial
dan menteri pariwisata.
Banyuwangi Ethno
Carnival 2015, tema “Usingnese Royal Wedding”, Acara ini digelar pada 17 Oktober
2015, dengan menampilkan tema pernikahan suku osing. Acara ini diikuti 200 an
peserta menggunakan kostum ala pengantin yang di desain kotemporer oleh para
perancang busana muda. Di mulai dengan pagelaran tari gandrung yang dibawakan
secara kolosal, kemudian dilanjutkan acara ritual adat seperti pada prosesi
pernikahan suku osing, yaitu perang bangkat, ritual yang dilakukan apabila
kedua mempelai/pengantinnya adalah anak terakhir atau munjilan. Ritual perang
bangkat ini diawali sahut-sahutan antar perwakilan keluarga kedua mempelai yang
intinya meminta agar anak mereka di persatukan yang diakhiri dengan kata
sepakat dan penyerahan uba rampe kepada keluarga pengantin perempuan, yaitu
berupa kembar mayang, bantal yang dibungkus tikar dan seekor ayam betina yang
telah mengerami telurnya. BEC V ini digelar mulai dari Taman Blambangan dengan
panggung yang luas dan catwalk sepanjang 70 meter, diikuti juga para penampil
khusus dari mancanegara dan 37 peserta cilik dengan kostum pengiring pengantin
osing. Acara ini disajikan dalam 3 tema, yaitu : Sembur Kemuning, merupakan presentasi upacara adat perkawinan dari
masyarakat pesisiran, yang disajikan dengan kostum di dominasi warna
kuning,orange dan ungu. Mupus Braen
Blambangan, sebagai presentasi upacara adat perkawinan untuk masyarakat
kelas menengah dengan kostum yang di dominasi warna merah, hitam dan emas. Sekar Kedaton Wetan, adalah presentasi
upacara adat perkawinan untuk masyarakat bangsawan dengan kostum yang di
dominasi warna hijau dan perak.
Itulah cara kreatif yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten
Banyuwangi yang bekerja sama dengan para seniman dan budayawan dalam penyusunan
tema, menampilkan budaya lokal dalam balutan busana dengan desain yang
kotemporer, unik dan moderen, sehingga tidak menghilangkan nilai-nilai budaya
lokal yang ada. Acara ini di usahakan akan di gelar setiap tahunnya dengan tema
yang berbeda tapi tetap mengeksplorasi budaya-budaya lokal yang ada di
Banyuwangi, menurut bupati Banyuwangi, bapak Azwar Anas, “Investasi kebudayaan
adalah hal yang sangat penting untuk memperkokoh pondasi bangsa ini”.*)
Artikel lain:
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda, terima kasih