Probolinggo – kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang
terkenal dengan Gunung Bromo sebagai ikon wisatanya banyak menarik perhatian
wisatawan baik lokal maupun manca negara. Di balik keindahan panorama gunung
Bromo, ternyata terdapat sebuah tradisi yang tergolong sakral yang dilakukan
turun temurun oleh para penduduk yang tinggal di sekitar gunung Bromo ini, yaitu
masyarakat suku tengger. Tradisi sakral ini ternyata juga menjadi daya tarik
tersendiri bagi para wisatawan dan ini menjadi potensi wisata sebagai pendukung
wisata gunung Bromo sebagai ikon utamanya. Tradisi – tradisi sakral yang
berkembang di masyarakat suku Tengger antara lain adalah sebagai berikut :
Upacara Adat Yadnya
Kasada, adalah
perayaan adat yang berasal dari masyarakat suku tengger yang mayoritas beragama
hindu. Upacara ini berawal dari legenda atau cerita rakyat tentang asal usul
desa Tengger sendiri, yaitu legenda Joko Seger dan Roro Anteng yang melakukan
pertapaan meminta diberikan anak oleh sang hyang widhi. Akhirnya pertapaan mereka dikabulkan oleh sang hyang widhi dengan
dianugrahkan 21 anak kepada pasangan Joko Seger dan Roro Anteng, namun sang
hyang widhi juga minta syarat salah satu dari anak tersebut harus dikorbankan
dengan dimasukan ke kawah gunung Bromo sebagai persembahan. Pada akhirnya putra
terakhir mereka, raden kusuma yang dikorbankan sebagai persembahan dimasukan
dalam kawah gunung Bromo sebagai persembahan. Untuk itulah setiap tahun
masyarakat suku tengger secara turun temurun melakukan upacara persembahan ini
sebagai wujud syukur kepada sang hyang widhi atas segala berkat yang diberikan
dan sebagai penghormatan atas pengorbanan raden kusuma demi menjaga keamanan
dan kemakmuran masyarakat suku Tengger. Upacara adat yang sakral ini
diselenggarakan setiap bulan kasada hari ke 14 dalam penanggalan hindu dengan
menggelar doa bersama di pura dengan membawa sesaji untuk persembahan berupa
hasil bumi dan ternak. Saat upacara tiba, seluruh umat hindu masyarakat tengger
beramai-ramai membawa sesaji menuju ke Pura Luhur Poten yang ada di kaki gunung
Bromo. Setelah melakukan doa bersama di pura, pada tengah malam sesaji tersebut
akan dibawa beramai-ramai menuju ke kawah gunung Bromo untuk di lemparkan ke
dalam kawah seperti halnya yang dilakukan leluhur mereka sebagai simbol
pengorbanan masyarakat suku tengger. Upacara sakral kasada ini selain sebagai
simbol pengorbanan dengan persembahan sesaji juga dalam upacara ini bertujuan
untuk mengangkat seorang dukun baru dari setiap desa yang ada di sekitar gunung
Bromo. Para calon dukun yang terpilih dari setiap desa tersebut, sebelum
upacara kasada dilaksanakan, didahului dengan mempersembahkan sesaji dengan
melemparkannya ke kawah gunung Bromo. Para calon dukun tersebut sebelum
dinobatkan dalam upacara kasada mereka juga menjalani tes pembacaan mantra
terlebih dahulu sebelum dinyatakan lulus dan diangkat oleh tetua adat. Peran
dukun-dukun ini sangat penting karena dipercaya bisa mengobati berbagai
penyakit dan semua masalah yang terjadi dalam masyarakat desa masing-masing.
Masyarakat suku tengger ini dikenal sebagai masyarakat yang sangat berpegang
teguh pada adat istiadat dengan menjalankan upacara kasada ini turun temurun
dan rutin setiap tahunnya. Keberadaan suku asli gunung Bromo ini sangat
dihormati oleh penduduk disekitarnya karena mereka dikenal menerapkan hidup
yang sangat jujur dan tidak iri hati, hal tersebut tidak lepas dari kisah leluhur
mereka yang telah membangun dan memerintah kawasan tengger yang kemudian
dinamakan “Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger” yang artinya penduduk yang
mendiami tanah tengger dan memiliki hati yang budiman. Bagi para wisatawan yang ingin menyaksikan
upacara sakral ini bisa datang antara bulan Agustus – September pada saat bulan
purnama, dan diharapkan datang sebelum tengah malam karena ramainya persiapan
yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Pesona Wisata & Jendela Inspirasi :
Hari Raya Karo, adalah tradisi sakral khas suku
Tengger selain upacara yadnya kasada. Tradisi ini ada di dalam masyarakat suku
tengger yang mayoritas beragama hindu dan termasuk tradisi sakral keagamaan.
Karo dalam istilah suku tengger adalah hari raya keagamaan. Yang perayaannya
diselenggarakan tiap tanggal 15 bulan kedua dalam kalender Tengger. Tradisi
karo ini dimaknai sebagai refleksi
kehidupan dimana setiap manusia harus memaknai kehidupan dengan selalu bersyukur
atas rahmat dan hidayah yang diberikan oleh Sang Hyang Widi atau sang pencipta.
Dalam filosofi agama hindu, karo merupakan peringatan tentang “pawedalan jagad”
atau peringatan terwujudnya alam semesta yakni unsur pemicu kehidupan purusa
dan prakerti. Dua unsur inilah yang dipercaya merupakan unsur pokok yang
terkandung didalam setiap materi di alam semesta dengan sifat yang kekal, halus
dan tidak dapat dipisahkan. Peringatan hari raya karo ini biasanya ditandai
dengan doa petren yang dilakukan oleh seluruh perangkat desa dengan didampingi
dukun adat sebagai pembaca mantranya. Dalam perayaan hari raya karo ini juga
dimeriahkan dengan tarian yaitu tari sodoran yang disajikan sebagai simbol asal
mula terjadinya manusia. Tarian ini dibawakan oleh warga desa-desa suku
tengger, dengan para penari menggunakan sodor atau tongkat dengan puncak tarian
akan memuntahkan biji-bijian sebagai simbol dari kesuburan. Setelah acara
tarian sodor selesai, perayaan hari raya karo dilanjutkan dengan pembukaan
jimat klontong, yaitu pusaka masyarakat suku tengger. Pembukaan jimat ini
dilakukan setahun sekali, saat hari raya karo di gelar. Di dalam jimat klontong
itu berisi uang satak, pakaian kuno, mantra dan sebagainya. Proses selanjutnya
adalah upacara santi, yaitu sebuah ritual yang mempunyai makna memuliakan para
leluhur suku tengger yaitu Joko Seger dan Roro Anteng dan seluruh kerabat dalam
suku tengger yang telah meninggal. Upacara santi ini dilakukan secara masal
baru kemudian dilanjutkan upacara santi di rumah masing-masing. Menurut
kepercayaan masyarakat, sebelum mereka melaksanakan upacara santi mereka
dilarang untuk menerima tamu. Dalam upacara santi terdapat sesajen yang
berbentuk boneka dari bunga tunalayu dan jenang piyak atau jenang yang berwarna
merah putih, kemudian terdapat juga sesajen berupa ayam panggang untuk
selamatan air dan gagah atau kebun dengan menaruh sesajen di atas atap rumah
yang dipercaya sebagai tolak balak. Setelah upacara santi selesai dilaksanakan,
para penduduk saling bersilaturahmi dengan mendatangi rumah-rumah. Uniknya
dalam tradisi silaturahmi ini para tamu diwajibkan untuk makan dan minum di
setiap rumah, jadi bagi anda yang ikut dalam perayaan hari raya karo tidak
perlu kuatir kelaparan karena semua makan dan minum telah disediakan di setiap rumah
suku tengger, bagaimana ?? asyik kan...
Di akhir perayaan hari raya karo dilaksanakan upacara adat
lagi yaitu upacara bawahan sebagai upacara penutup hari raya karo yang ditandai
penampilan tari ojung yang menurut kepercayaan masyarakat tengger untuk
mendatangkan hujan. Nah, demikian sekilas tradisi-tradisi sakral yang ada di
suku tengger yang cukup menarik untuk di tonton dan kita bisa ikut serta dalam
perayaan tersebut tentu adalah sebuah pengalaman yang sangat mengasyikan, mari
berkunjung ke Bromo.
Artikel lain :
Sedang mencari paket wisata gunung bromo. kami menyediakan paket wisata bromo gratis dokumentasi drone
ReplyDelete